MARAPU, YPK DONDERS DAN KEPALA DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN SBD

Marapu adalah sebuah kepercayaaan asli masyarakat Sumba. Berdasarkan statistik tahun 2005, penganut Marapu di Kabupaten Sumba Barat berjumlah 78.901jiwa (20,05%) dari total penduduk 393.475 jiwa.[ Yendri H. A. Yetty Leyloh dalam https://repository.usd.ac.id/1783/2/026322014_Full.pdf]

Data itu merupakan sampel yang mengindikasi masih banyak penganut kepercayaan Marapu di pulau Sumba. Secara umum kepercayaan ini menyebar di empat kabupaten di Sumba secara merata yang meliputi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Sebagai sebuah kepercayaan asali, marapu mempunyai ruang yang kian sempit. Hal ini bukan terjadi tanpa alasan. Ada begitu banyak alasan yang melatari hal tersebut. Entah hal itu datang dari internal komunitas marapu sendiri maupun dari eksternal komunitas marapu.

Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap nilai dan juga pandangan kepada agama asali ini berdampak kepada seluruh lini hidup orang marapu.

Menyikapi sedari dini persoalan yang seperti kelihatannya hanya menyangkut agama sebenarnya secara tidak langsung sudah mengantisipasi benturan horisontal di dalam masyarakat Sumba baik dalam bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agama itu sendiri.

Stigmatisasi yang begitu kental terhadap orang marapu ada pada beberapa hal. Pertama sebutan sebagai orang kafir. Stigmatisasi ini muncul seiring masuknya lima agama besar yang diakui oleh NKRI. Serangan ideologi ini berdampak besar kepada psikis mereka. Kekuatan untuk tampil di tengah umum kian menurun dan bahkan perlahan-lahan hilang. Ritual dan doa-doa dilakukan dan didaraskan di bilik-bilik sepi dan tertutup. Penggunaan nama-nama asali seperti Bili, Kaka, Ledi dirasa seolah-olah kutuk bagi anak-anak marapu generasi baru ketika memasuki bangku pendidikan formal. Mereka diejek sebagai anak kafir yang dengan sendirinya memiliki arti lurus sebagai orang tidak beradab.

Kedua pelayanan adminduk yang masih jauh dari citra keadilan. Label kafir kepada orang marapu berdampak sampai kepada sisi politik.

Ketiga semua hal diatas menyebabkan jurang pengertian kepada kebutuhan orang marapu kian menganga. Situasi yang menindih kian menindih kehidupan orang marapu.

Mereka bagai sekelompok orang yang dipaksa berjalan dengan cara jalan modernitas walaupun mereka memiliki cara jalannya sendiri. Walau susah untuk meniru dan mengikuti, mereka tetap dipaksa berjalan.

Di tengah hiruk pikuk dan hingar bingar berbagai masalah kemanusiaan yang terus muncul seperti enggan mau berhenti, YPK-Donders menilik dengan menukik lebih dalam melihat keadaan orang marapu yang seperti hendak terlupakan.

Eksistensi orang marapu belum punah dan spirit mereka tidak mati. Mereka butuh asupan energi yang Donders berikan dalam mantra loving, caring, learning, moving, growing, and developing together.

Poros mantra ini bukan berada pada Donders yang bertindak sebagai pemeran utama yang maha tahu yang berada di luar cerita dalam sebuah penulisan cerita. Donders meletakkan poros mantranya kepada masyarakat itu sendiri. Bagi Donders, proses yang baik adalah memacu dan memberi masyarakat suatu kesempatan (opportunity) dan kebebasan (freedom) untuk bertindak sesuai kesanggupan diri mereka dan mengembangkan potensi diri mereka dari dalam.

Meletakkan masyarakat sebagai poros gerakan berarti memikirkan suatu cara yang familiar dan nyaman bagi masyarakat itu sendiri. Ada berbagai macam pendekatan dilakukan. Pendekatan budaya dan kearifan lokal merupakan salah satu langkah yang ditempuh Donders. Gerakan itu tercermin melalui beberapa kegiatan dan advokasi yang sudah dilakukan Donders.
Diskusi bale-bale
Pemutaran film tentang bahaya tambang.
Pembentukan Akomas
Pilot Projek. Menggali informasi dari para rato.
Pembuatan LIM, Pustaka Marapu dan Kobar.
Pembuatan Pupuk Organik.
Dan lain sebagainya.

By: Michael Kabatana

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *