MARAPU SUMBA

MENGENAL MARAPU – MENCINTAI SUMBA
(Stefanus Bani Ngadu)

MARAPU, identik dengan Sumba atau

JURNALISME UNTUK MEDIA OMS

FOTO PESERTA LOKAKARYA BERSAMA NEZAR PATRIA, ANGGOTA DEWAN PERS INDONESIA

orang Sumba, karena kata Marapu sebagai aliran kepercaan lokal hanya ada di Sumba, Propinsi NTT. Bahkan banyak peneliti tentang marapu mengatakan bahwa menyebut sumba sama dengan menyebut marapu ‘ he who says Sumba, says Marapu; he who says Marapu says Sumba’.
Sebagai wisatawan (pelancong) luar sumba bisa mengatakan demikian kendati belum memahami marapu secara mendalam. Dalam konteks wisata budaya di sumba banyak dijumpai simbol-simbol modern yang mudah nampak dan kelihatan seperti gedung Kantor Daerah, gedung DPR, gedung Gereja, gedung bandara dengan menaranya menjulang tinggi seperti meniru (menjiplak) cirikhas rumah kampung-kampung adat yang ada di Sumba, kampung marapu (umma/wanno kalada).

Memang memahami hakekat Marapu Sumba dalam arti yang utuh dan benar tidak bisa lepas dari kampung besar karena di sanalah simbol-simbol dan ritual-ritual marapu masih nampak. Sebagian besar komunitas marapu masih di sana dan masih setia menjalankan ritual adat (ritual marapu).

Sebagai kampung asali, kampung leluhur setiap orang sumba pasti punya kampung. Hanya, sudah ironis sekarang – ketika orang luar kagum dengan kampung, ritual, simbol-simbol adat yang ada di kampung – orang asli sumba sendiri khususnya generasi yang terlahir modern malu, gengsi, minder mengenal kampung apa lagi back to kampung. Tidak menyadari ketika dia berkata apa tentang kampung marapu dia sedang berkata tentang dirinya, tentang leluhurnya, tentang keberadaannya, tentang martabatnya, bahkan tentang keyakinannya.
Yang lebih parah lagi kalau generasi muda Sumba sekarang cenderung tidak terkontrol oleh arus media informasi teknologi dengan berbagai tawaran, ajakan, promosi komersial yang membuai lena dalam lingkaran modernisasi,globalisasi dan liberalisasi. Gejala itu mulai nampak dalam tingkah laku dan tatakrama sebagian anak yang kurang menghargai dan tidak bergairah ketika orang tua mereka harus menghadiri kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan adat di kampung. Mereka lebih senang tinggal di rumah sambil nonton TV, bermain HP dari pada ikut ke kampung yang jauh, kolot, kotor dan kampungan.
Kalau ada yang menyentil bahwa komunitas marapu menuju kemusnahan bukan tanpa argumen kalau memang setiap peralihan generasi tidak pernah ada penyadaran dan pencerdasan yang benar mengenai marapu. Sebab memahami marapu secara utuh sebagai bagian dari napas, roh dan kehidupan manusia dan kemanusiaan, maka siapa pun makluk manusia yang percaya kepada yang Ilahi tentu tidak akan pasrah pada situasi penegasian dan penyangkalan (pengkianatan) dirinya sendiri.
Orang Sumba sendiri punya prinsip-prinsip perjuangan yang diwariskan oleh leluhur dalam petuah-petuah adat (marapu) seperti: Tanah Ndadikki – Watu Ndangero, Paghoro Puuna – Pakado Lawena. Artinya : Kami orang sumba tidak mau mati apa lagi musnah seperti yang diragukan orang.
Kalau orang luar sumba banyak yang peduli dan cinta marapu, mengapa orang sumba sendiri tidak? Apa karena tak kenal maka tak sayang? Semoga dalam kebenncian ada kerinduan menuju benar-benar cinta.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *